Tak Ada Lagi Wisuda TK, SD, dan SMP di Kota Bima Mulai Tahun Ini!
Pemerintah Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, mengeluarkan kebijakan yang cukup mengejutkan dan menuai berbagai tanggapan dari masyarakat. Mulai tahun ajaran 2025, kegiatan wisuda atau pelepasan formal untuk jenjang Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) akan dihentikan. Keputusan ini dituangkan dalam surat edaran resmi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bima yang ditujukan kepada seluruh satuan pendidikan di wilayah tersebut.
Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan bahwa kegiatan wisuda untuk anak-anak jenjang dasar dianggap tidak esensial, bersifat seremonial, dan cenderung membebani orang tua secara finansial, tanpa memberikan kontribusi langsung terhadap kualitas pendidikan peserta didik.

Tak Ada Lagi Wisuda TK, SD, dan SMP di Kota Bima Mulai Tahun Ini!
Alasan Penghentian Kegiatan Wisuda
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bima, dalam pernyataan resminya, menyampaikan bahwa penghentian kegiatan wisuda ini merupakan bentuk refleksi atas nilai-nilai pendidikan sejati. Menurutnya, pendidikan dasar seharusnya lebih menekankan pada proses pembelajaran yang menyenangkan, pembentukan karakter, dan penguatan kemampuan dasar, bukan pada pencitraan dan formalitas yang berlebihan.
Beberapa alasan utama penghentian kegiatan wisuda ini antara lain:
-
Kegiatan bersifat seremonial semata, bukan bagian dari proses akademik yang wajib.
-
Membebani keuangan orang tua, karena umumnya orang tua harus membayar biaya kostum, dokumentasi, sewa gedung, hingga konsumsi.
-
Tidak sesuai dengan nilai pendidikan dasar, yang harusnya menumbuhkan rasa belajar, bukan mengejar pengakuan simbolik.
-
Mengalihkan fokus pendidikan, dari proses pembelajaran menjadi persiapan acara perpisahan yang bersifat euforia sesaat.
Kebijakan ini berlaku mulai tahun ajaran 2024/2025, dan sekolah-sekolah diimbau untuk mengganti kegiatan wisuda dengan kegiatan sederhana dan edukatif, seperti syukuran kelas, karya bakti, atau pameran hasil karya siswa.
Baca juga:Memahami Struktur Pendidikan Tinggi Dan Juga Apa Itu Fakultas?
Reaksi Masyarakat: Pro dan Kontra
Kebijakan ini menimbulkan reaksi beragam di tengah masyarakat. Sebagian orang tua dan pendidik menyambut positif langkah tersebut, sementara sebagian lainnya merasa keberatan karena wisuda dianggap sebagai momen penting bagi anak-anak dan keluarga.
Pihak yang mendukung menyatakan bahwa wisuda bukan kebutuhan pokok. Beberapa orang tua mengaku harus mengeluarkan biaya antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta hanya untuk seragam dan foto wisuda anak TK atau SD.
“Lebih baik dananya digunakan untuk beli buku atau keperluan sekolah anak selanjutnya. Toh, anak juga belum mengerti arti wisuda,” ujar Nurhasanah, seorang wali murid SD di Bima.
Sementara itu, pihak yang menolak menyebut bahwa wisuda memiliki nilai psikologis positif bagi anak dan keluarga. Beberapa guru menyampaikan bahwa momen wisuda bisa membangkitkan rasa percaya diri, menjadi kenangan manis, dan menjadi apresiasi kecil atas perjuangan anak-anak.
“Momen ini bukan sekadar seremoni, tapi simbol transisi yang penting. Orang tua merasa bangga, anak-anak juga merasa dihargai,” ungkap Lestari, seorang guru TK.
Pandangan Ahli Pendidikan
Pakar pendidikan dari Universitas Mataram, Dr. Ari Subekti, menyatakan bahwa kegiatan wisuda
sebetulnya tidak diatur dalam kurikulum nasional, namun muncul sebagai budaya lokal yang berkembang.
Ia menilai bahwa penghentian wisuda di tingkat TK hingga SMP patut diapresiasi jika tujuannya untuk mengembalikan fokus pendidikan ke esensinya.
Menurut Dr. Ari, wisuda di jenjang dasar bisa diganti dengan kegiatan berbasis refleksi
seperti presentasi proyek siswa, pameran hasil belajar, atau kunjungan edukatif yang memperkuat keterampilan sosial anak.
“Wisuda bisa diganti dengan kegiatan penutup tahun ajaran yang melibatkan orang tua secara lebih bermakna dan tidak memberatkan finansial,” ujarnya.
Imbauan dan Pengawasan
Pemerintah Kota Bima juga menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Sekolah yang tetap memaksakan adanya wisuda dengan pungutan biaya akan diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Dinas Pendidikan juga telah menyiapkan edukasi kepada kepala sekolah dan komite agar memiliki pemahaman yang sama tentang semangat di balik kebijakan ini. Diharapkan, pihak sekolah tidak hanya mengikuti aturan karena kewajiban, tetapi juga memahami alasan filosofisnya.
Selain itu, sekolah diimbau untuk mulai membudayakan transparansi anggaran kegiatan akhir tahun, agar tidak terjadi praktik pungutan liar atau kewajiban terselubung yang merugikan orang tua.
Alternatif Kegiatan Penutup Tahun
Sebagai pengganti wisuda, sekolah diminta menyelenggarakan kegiatan penutup tahun ajaran yang sederhana, inklusif, dan edukatif.
Beberapa bentuk kegiatan yang direkomendasikan antara lain:
-
Festival kelas atau pentas seni siswa
-
Pameran hasil karya dan tugas akhir siswa
-
Hari keluarga di sekolah dengan permainan edukatif
-
Kegiatan tanam pohon bersama atau aksi sosial di lingkungan sekitar
Dengan kegiatan seperti ini, anak-anak tetap merasakan perpisahan dan transisi ke jenjang berikutnya, namun tanpa tekanan finansial atau formalitas yang tidak diperlukan.
Dampak Jangka Panjang: Kembali ke Esensi Pendidikan
Keputusan Pemerintah Kota Bima ini dapat menjadi preseden positif bagi daerah lain. Sebab, selama ini kegiatan wisuda kerap menjadi ajang prestise semu yang tidak berdampak langsung pada kualitas pendidikan anak. Dengan menghapus kegiatan yang bersifat simbolis, sekolah dan orang tua dapat fokus kembali pada proses pembelajaran yang utuh dan menyenangkan.
Kebijakan ini juga membuka ruang diskusi nasional tentang apa sebenarnya makna “menghargai
pencapaian anak-anak”, dan bagaimana cara terbaik untuk melakukannya tanpa harus terjebak dalam seremonial yang mahal.
Penutup: Kembali ke Nilai Dasar Pendidikan
Wisuda bukanlah satu-satunya cara untuk merayakan capaian siswa. Pendidikan yang baik seharusnya
menumbuhkan nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan kebermaknaan dalam setiap prosesnya.
Dengan kebijakan ini, Pemerintah Kota Bima mencoba mengembalikan makna pendidikan kepada hal-hal yang sederhana, namun substansial.
Kini, saatnya semua pihak—guru, orang tua, dan murid—untuk bersama-sama membangun budaya sekolah
yang lebih inklusif, adil, dan berfokus pada pertumbuhan anak, bukan hanya pada seremoni. Karena dalam pendidikan sejati, proses jauh lebih penting daripada prosesi.
Leave a Reply